} -->

22

Jumat, 07 September 2012

MANA YANG LEBIH BAIK: Berjilbab tetapi Berakhlak Buruk atau Tidak Berjilbab tetapi Berakhlak Baik


”Lebih baik saya berjilbab hati dulu, daripada berjilbab tetapi hatinya tidak berjilbab.”
“Mendingan tidak usah berjilbab aja, daripada kaya si A berjilbab tapi masih sering berbuat maksiat.”
”Kalau belum siap berjilbab, mendingan ga usah pakai dulu!”
”Saya belum bisa memperbaiki perilaku saya, saya belum siap pakai jilbab jadi saya nanti aja pakai jilbabnya.”
”Saya sebenarnya pengen mamakai jilbab, tetapi masih belum siap.”
”Saya sebenarnya pengen mamakai jilbab, tetapi malu belum terbiasa.”
Mungkin kita sering mendengar perkataan-perkataan seperti di atas atau yang sejenisnya.  Dimana pernyataan atau pandangan-pandangan seperti di atas menjadikan seorang akhwat tidak atau menunda untuk berjilbab.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada di antara para muslimah yang sudah memakai jilbab ada yang masih melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak mencerminkan moral atau akhlak islam. Hal inilah yang kemudian memunculkan banyak pandangan-pandangan di masyarakat yang berpendapat seperti di atas. Mereka bersikap sinis dan pesimis terhadap jilbab.
Salah satu pandangan yang banyak kita jumpai di masyarakat adalah adanya pandangan yang mengatakan bahwa  ”Lebih baik kalau belum siap tidak usah pakai jilbab dulu, daripada berjilbab tetapi masih melakukan perbuatan-perbuatan maksiat atau berakhlak buruk”. Pandangan inilah yang juga sering mengecoh para muslimah sehingga menolak atau menunda melaksanakan kewajibannya dalam mengenakan jilbab. Kalau kita cermati pandangan semacam ini, kita bisa analisis sebagai berikut:
Ada dua pernyataan yang bisa kita tarik dari pandangan tersebut, yaitu:
  1. Berjilbab tetapi berakhlak buruk Para muslimah yang berjilbab tetapi masih banyak juga melanggar syariat-syariat islam yang lainnya.
  2. Tidak berjilbab tetapi berakhlak baik Para wanita yang tidak atau belum berjilbab tetapi tidak melanggar syariat-syariat islam yang lainnya, kecuali jilbab.
Pandangan yang seperti di atas menganggap bahwa pernyataan b lebih baik daripada pernyataan a. Apakah benar demikian? Atau  Manakah di antara kedua hal tersebut yang lebih baik?
Jawabannya adalah tidak ada lebih baik dari dua hal tersebut. Tidak ada yang lebih dari dua alternatif pelanggaran, karena dari keduanya memang tidak ada yang baik. Ketika seorang muslimah telah baligh atau dewasa maka wajib baginya untuk berjilbab. Adapun masalah moral atau akhlak itu adalah perkara yang lain dimana ada hukum tersendiri yang mengaturnya. Mungkin yang harus kita imani terlebih dahulu adalah bahwasanya berjilbab adalah kewajiban yang mutlak bagi seorang muslimah dewasa. Banyak dalil-dalil tentang kewajibab berjilbab,
”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al Ahzab (33): 59]
” Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [QS.AnNur(24) : 31]
Sabda Rasulullah shallallahu ’alahi wassalam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ’Aisyah, katanya:
”Hai Asmaa! Sesungguhnya perempuan itu apabila telah dewasa/sampai umur, maka tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya melainkan ini dan ini.” Rasulullah Shallahllahu ’alaihiwassalam berkata sambil menunjukkan muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan tangannya sendiri.
Yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana menggunakan jilbab secara benar atau sesuai syar’i. Karena kalau kita lihat di masyarakat, banyak para muslimah yang mengunakan jilbab belum sesuai dengan kriteria-kriteria syariat. Banyak kita dengar istilah ”jilbab gaul”, ”jilbab modis”, dan sebagainya yang mungkin bisa saya katakan bahwa yang demikian itu tidak bisa disebut dengan jilbab. Oleh karena itu hendaknya setiap muslimah yang memakai jilbab, pelajari bagaimana kriteria-kriteria jilbab yang sesuai dengan syariat.
Jilbab yang sudah dikenakan dengan benar, insya Allah akan memberikan pengaruh besar untuk melakukan kebaikan, sedangkan menanggalkannya bisa membuka peluang besar bagi jalannya bermacam-macam maksiat. Karena pada dasarnya tidak berjilbab merupakan kemaksiatan. Walaupun jilbab itu tidak menutup kemungkinan negatif dan bukan menjamin kebaikan seluruhnya tetapi dampak positif yang dicapai oleh wanita berjilbab jauh lebih baik dibanding wanita yang tidak berjilbab. Sebab wanita yang berjilbab itu telah memperoleh sebagian dari kebaikan/keutamaan sedangkan kebaikan lainnya harus dipenuhi dengan kewajibab lainnya. Adapun kebaikan itu muncul dari pancaran ilmu, iman dan takwanya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Lalu bagaimana dengan wanita yang belum berjilbab tetapi bukan karena menolak melainkan menunda-nunda dengan berbagai alasan seperti malu masih belum terbiasa, belum siap, atau nanti saja dan lain-lain?
Bagi saudari-saudariku yang masih menunda-nunda berjilbab hendaklah menyadari bahwasanya umur dan ajal bisa datang kapan saja. Kita tidak tahu kapan malaikat maut mencabut nyawa kita. Apa tahun depan? Bulan depan? Besok? Atau mungkin satu jam lagi. Ingatlah kematian saudariku yang datangnya tiba-tiba. Hendaknya kita segera bertaubat dan mulailah kenakan jilbab dengan benar. Allah tidak akan menerima taubat seseorang ketika tiba ajalnya, dan ajal itu tidak akan dapat diundurkan atau dimajukan.
Rasulullah Shallallahu ’alahi wassalam membenci orang-orang yang merasa panjang umur, dengan sabdanya,
Sesungguhnya yang paling aku takuti atas umatku ialah hawa nafsu yang masih merasa panjang umurnya. Adapun hawa nafsu yang menyesatkan manusia dari kebenaran dan hawa nafsu yang masih merasa panjang umurnya (panjang angan-angan) semua itu akan lupa pada hari akhir.
Wallahu’alam

Rabu, 05 September 2012

Sebuah Taubat Yang Sempurna


Suatu hari, Rasulullah sedang duduk di dalam masjid bersama para sahabat. Tiba-tiba datanglah seorang wanita yang kemudian masuk ke dalam masjid. Dengan ketakutan, wanita tersebut mengaku kepada Rasulullah bahwa dia telah berzina. Mendengar hal itu, memerahlah wajah Rasulullah SAW seperti hampir meneteskan darah. Kemudian beliau bersabda kepadanya, “Pergilah, hingga engkau melahirkan anakmu.”

Sembilan bulan berlalu, wanita itu akhirnya melahirkan. Dihari pertama nifasnya, dia datang kembali membawa anaknya, dan berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku dari dosa zina"

Rasulullah melihat kepada anak wanita tersebut, dan bersabda: “Pulanglah, susuilah dia, maka jika engkau telah menyapihnya, kembalilah kepadaku.”

Dengan sedih, wanita itu akhirnya kembali lagi kerumahnya.

Tiga tahun lebih berlalu, namun si wanita tetap tidak berubah pikiran. Dia datang kembali kepada Rasulullah untuk bertaubat. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menyapihnya, maka sucikanlah aku!”

Rasulullah SAW bersabda kembali kepada semua yang hadir disana, “Siapa yang mengurusi anak ini, maka dia adalah temanku di surga".

Sesaat kemudian beliau memerintahkan agar wanita tersebut dirajam. Setelah wanita tersebut meninggal, beliaupun menshalatinya.

Melihat hal tersebut, umar Bin Khatab merasa sangat heran sekali. Beliau berkata: “Engkau menshalatinya wahai Nabi Allah, sungguh dia telah berzina!.”

Rasulullah kembali bersabda: “Sungguh dia telah bertaubat dengan satu taubat, yang seandainya taubatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka taubat itu akan mencukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah taubat yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah ?” (HR. Ahmad)

Saudariku, tidak ada manusia yang tidak berdosa. Namun belajar dari kesalahan dan keteguhan hati wanita itu untuk bertaubat, maka yang terpenting adalah bagaimana kita memperbaiki kesalahan kita dengan sebuah action nyata, tanpa harus berhenti hanya sekedar pada rasa menyesal saja.

Manusia memanglah tempatnya salah dan lupa. Namun Allah SWT tetap tiada henti menjadi yang Maha Pengasih dan Pemaaf.

Dan di bulan mulia ini, adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki diri dan selalu mendekatkan diri dengan Allah SWT, agar kita bisa melepaskan diri dari semua kekotoran dosa- dosa kita. Saatnya melakukan yang terbaik, karena kita bahkan tidak bisa menjamin bahkan untuk diri kita sendiri, kalau esok hari kita masih bisa mendapatkan kesempatan hidup seperti hari ini. Semoga Allah selalu mengampuni dosa- dosa kita.
(Syahidah/voa-islam.com)